Oleh: Fr. M. Christoforus, BHK
“Karangan Bunga”
Tiga anak kecil dalam
langkah malu-malu datang ke Salemba sore itu.
Ini dari kami bertiga
pita hitam pada karangan bunga
sebab kami ikut berduka dengan kakak yang ditembak mati siang tadi
(Taufiq Ismail)
Julukan Khas Bangsa Kita
‘September Hitam’, adalah sebuah frase idiomatik, julukan, dan bahkan mungkin juga sebagai sebuah identitas paling khas dari bangsa kita.
Bulan nan Kelam Pekat
Di titik ini, sejarah seolah sedang mengulang dirinya. Lanskap sosial politik Indonesia pernah berulang kali menorehkan peristiwa serupa:
- tragedi September 1965;
- tragedi Tanjung Priok 1984;
- tragedi Semanggi II 1999;
- pembunuhan Munir 2004;
- pembunuhan Salim Kancil 2015;
- Rrleformasi Dikorupsi 2019;
- kini Reset Indonesia 2025. Semuanya mengendap dalam memori kolektif bangsa, sekaligus menghadirkan satu asosiasi yang pahit: September kerap jadi bulan penuh darah. Demikian Wahyu Ugil Permana, Way Lima, Pesawaran, Lampung dalam opininya lewat kolom Surat kepada Pembaca, Kompas, Kamis, 11/9/2025 berjudul, “September Hitam.”
Ungkapan atau istilah “September Hitam,” ini sudah melekat erat di dalam nurani bangsa kita untuk mengenang rangkaian peristiwa kelam di Indonesia pada bulan September yang melibatkan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM), yang berentetan terjadi di negeri kita ini sejak tahun 1965 hingga kini 2025.
Peristiwa Berdarah yang Berulang
Sungguh, bulan September jadi bulan spesial, bahkan terkesan magis bagi bangsa kita. Mengapa tidak, karena sejak 25 Agustus lalu dan akhirnya berpuncak di bulan September 2025 ini terjadi gelombang demonstrasi besar-besaran yang meletup di sejumlah kota besar dan kecil. Namun ironisnya, demonstrasi ini akhirnya berkembang ke arah kerusuhan dan penjarahan yang berujung jatuhnya sejumlah korban jiwa.
Sebuah Lagu Lama
Namun, gairah dan spirit agung dari rakyat untuk menyuarakan seruan kebenaran ini akhirnya terkesan melenceng dari tujuan semula. Karena aksi penjarahan dan sikap anarkis itu, justru sangat bertentangan dengan tujuan awal, yakni mau menyampaikan aspirasi yang mewakili suara rakyat.
Di sisi yang lain, sikap pemerintah pun tidak menunjukkan itikad baik untuk mengubah yang salah, tapi para demonstran itu malah disambut dengan gas air mata dan pentungan yang berdampak jatuhnya sejumlah korban jiwa.
Tindakan brutal yang diperankan oleh polisi dan tentara itu justru sudah terjerembab ke arah pelanggaran HAM berat.
Wahai bangsaku, mengapa begitu pahit nasibmu?
Maka, sungguh, inilah wajah kelam September hitam yang kembali hadir di tahun 2025.
Kediri, 12 September 2025