| Red-Joss.com | “Tidak ada orangtua yang memberi batu, ketika anaknya minta makan. Tidak ada orangtua yang buruk, jahat, dan ingin anaknya menderita. Semua orangtua itu baik, karena ingin anak-anaknya hidup bahagia. Tapi yang lebih baik dan dahsyat itu adalah Allah Mahabaik yang anugerahi hidup kita.”
Hal itu tidak hanya dipercayai, tapi saya ‘ainul yakini’ seyakin-yakinnya.
Begitu pula, ketika saya terpaksa tidak bisa meneruskan kuliah, karena tidak ada biaya. Orangtua tampak kecewa dan sedih. Tapi saya memahami keadaan dan usaha orangtua yang merosot itu.
“Ibu Bapak nggak usah sedih, saya mau istirahat dulu, sambil nyari kerja,” saya tersenyum mencairkan suasana sendu itu. Saya genggam tangan mereka untuk meyakinkan tekad dan semangat saya untuk mandiri.
Selalu belajar memahami orangtua, maka saya jadi penurut. Bukan karena terpaksa, melainkan datang dari kesadaran diri. Saya melihat orangtua telah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Mereka ingin anak-anaknya jadi pandai agar kelak hidup sukses dan bahagia.
Jika minta dibelikan suatu barang pada mereka, saya mengutamakan kebutuhan dan sesuai kepentingan, ketimbang sekadar menuruti keinginan yang kurang bermanfaat itu.
“Itupun jika Ibu Bapak punya uang,” kata saya tidak mau membebani pikiran orangtua.
Sesungguhnya, saya beruntung, karena sejak kecil saya diajari dan dibiasakan untuk laku prihatin oleh orangtua. Untuk berani menerima realita hidup, meski sepahit apa pun.
Saya juga dilatih untuk berpuasa Senin-Kamis. Bahkan setiap libur kwartalan saya diajak oleh orangtua untuk silaturami ke rumah saudara Mbah Putri, baik yang di Gringging, Kediri atau ke Ponorogo dengan naik bus. Saya ikut juga mendengarkan, ketika para orangtua itu bertukar pengalaman tentang laku hidup spiritual.
Hadiah spesial dari saudara Mbah Putri adalah, ketika kelas 2 SMP, saya diberi buku-buku kejawen, pangestu, dan sejenisnya.
Manfaatnya adalah dengan membaca buku rohani itu pikiran saya lebih terbuka cerah, cepat berkembang jadi matang, dan dewasa. Perilaku saya juga menjadi lebih tenang dan sabar.
Sesungguhnya, dengan belajar memahami orang lain, kita tidak mudah reaktif, tersinggung, marah, atau sakit hati. Meski sekasar dan setajam apa pun perkataan orang itu, kita tidak mudah terpancing emosi. Sebaliknya, kita mampu bersikap tenang, sabar, dan rendah hati.
Dengan selalu mendahulukan kepentingan dan memahami orang lain, sesungguhnya kita diajar untuk berjiwa besar. Kita menjadi pribadi yang sadar diri, mengalah, dan penurut. Tapi sesungguhnya kita dituntut untuk berubah sendiri, baik dalam olah pikir, sikap, dan perilaku hidup keseharian. Sehingga kita makin tangguh dan teruji dalam menjalani hidup ini.
Dengan selalu mengalah untuk memahami orang lain, kita dilatih pula untuk jadi pribadi yang ramah dan sabar. Bahkan lebih daripada itu, pintu rezeki kita dibuka dan dimudahkan Allah. Sehingga hidup ini jadi berkah dan lancar jaya.
Dengan selalu mengasihi sesama, kita menghargai dan menghormati satu dengan yang lain sebagai makhluk mulia ciptaan-Nya.
Saya lalu teringat nasihat alm. Ibu, “Ngger, doa yang berkenan bagi Allah itu tidak meminta, tapi doa syukur dan totalitas penyerahan hidup kita pada kehendak-Nya.”
Tetap setia untuk mencari Allah dan kebenaran-Nya agar kita peroleh hidup dan segala kelimpahan-Nya.
…
Mas Redjo
…
Foto ilustrasi: Istimewa