Oleh: Fr. M. Christoforus, BHK
| Red-Joss.com | “Orang bijaksana ialah orang yang melihat jauh ke depan.”
“Orang bijaksana, berani menentukan nasibnya sendiri.”
“Orang bijaksana tidak akan membenarkan sesuatu yang tidak dapat dibuktikan.”
Inilah, tiga buah kalimat argumentatif yang dicatat oleh Walther, sebagai ciri-ciri manusia bijaksana.
Sedangkan, botanicus asal Swedia, Carolus Linnaeus (1707-1778), menjuluki sang manusia sebagai, “Homo Sapiens,” artinya, sang manusia, makhluk yang berpengetahuan atau makhluk bijaksana.
Mengapa demikian? Karena menurut Carolus, sebagai makhluk yang berakal budi dan yang mengetahui tentang banyak hal di dalam hidupnya, maka sang manusia itu wajib bertindak bijaksana.
Sang manusia wajib bertindak bijak, mulai dari lingkup terkecil,
yaitu keluarga, hingga ke lingkup terbesar, yaitu masyarakat dan bahkan negara.
Filsuf Socrates, mengategorikan manusia itu ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tingkat kebijaksanaannya.
(1) Manusia level atas, di saat berkumpul, mereka akan sibuk mendiskusikan ide-ide besar.
(2) Manusia level menengah, di saat berkumpul, mereka akan sibuk mendiskusikan peristiwa-peristiwa.
(3) Manusia level bawah, di saat berkumpul, mereka akan sibuk menggosip sesama.
Para saudaraku, akan sungguh ideal, jika manusia bijaksana itu berwawasan luas, berkarakter terpuji, dan yang paling vital, ialah manusia itu perlu menjadi hamba yang mengabdi kebenaran (veritas).
Saudara, lewat tulisan kecil ini, saya akan fokus pada kelemahan terbesar di dalam masyarakat kita dari berbagai level kehidupan, ialah ‘ketidakmampuan’ untuk mewujudkan ‘kebenaran’ itu.
Lihatlah pada semua lini kehidupan kita. Di dalam lembaga edukasi, sekolah sebagai pusat kebudayaan, ada istilah rapor ‘aspal.’ Di dalam ranah hukum serta meja hijau kita, selalu saja ada sikap ‘kongkalikong.’ Di dalam ranah pendidikan tinggi, ada adagium ‘joki’ alias ‘perampok berdasi’ yang sangat sibuk berplagiatoria.
Aneka praktik hidup vulgar dan murah di dalam masyarakat kita itu, sungguh telah membuktikan, bahwa kita telah mengingkari martabat kemanusiaan, sebagai makhluk yang berciri sebagai ‘hamba kebenaran’.
Saudara, ternyata sang manusia bijak itu, telah lari meninggalkan aspek veritas, kebenaran dengan berlaku curang.
Semua tindakan culas dan curang itu telah mendatangkan kondisi khaostis di dalam masyarakat kita.
Hal ini berarti, bahwa sang manusia bijak itu, telah mencoreng wajah agungnya sebagai ciptaan bermartabat mulia.
Wahai, sang manusia bijak, di manakah dan mengapakah kau sampai rela mencampakkan nurani sucimu?
…
Kediri, 9 Mei 2023