Oleh: Fr. M. Christoforus, BHK
“Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa
yang kamu bisa
Tapi kerja belum selesai,
belum apa-apa
(Karawang Bekasi – Chairil Anwar)
Deskripsi Situasi Kondisi
Tatkala amukan amarah para anak bangsa yang bersengsara, terluap dan berserakan di atas jalan-jalan kota, kini mulai tampak asap hitam mengepul kian menghitamkan angkasa dan jiwa-jiwa nan lapar dahaga. Di sana-sini mulai tampak bergerilya jutaan wajah memekik penuh amarah yang justru kian menambah hitamnya suasana. Juga sesekali terdengar bunyi dentuman senapan menggelegar dihajar amarah rakyat.
Di balik pekikan amarah dan teriakan perut lapar itu tampak juga wajah-wajah bersengsara yang berlarian kian kemari karena ingin selamat.
Di Atas Puing-puing Hitam
Kini semuanya sudah terkapar merana, karena dihadang amarah para anak bangsa. Gedung Balai Kota, gedung DPR, dan rumah-rumah pengacau bangsa tampak merana dilalap di jago merah. Hangus, berpuing, dan berantakan.
Dosa dan Salah Siapa?
“Ini dosa dan salah siapa?” Sebuah tanya retoris pun tak berjawab. Semua pada senyap tidak sanggup angkat wajah dan membusungkan dada fana lagi. Tapi rasa tidak berdaya ini kian menggayut dada para anak bangsa. Ikut bersalahkah?
Tampak beberapa putri jelita berkerudung duka sedang asyik mengais rezeki dan dipundakkan di atas ubun-ubun duka mereka. Kini, betapa terperanjatnya mereka, tatkala mendengar lenguhan panjang dari balik puing-puing nan merana. “Kami ini milik siapa?”
Jeritan Duka di Atas Puing-puing
Tatkala langit malam kian mengelam pekat dan lolongan tangis Bunda kian menambah duka, terdengarlah sebuah tanya, “Ini bongkahan puing-puing milik siapa?”
“Ini puing-puing kemarahan para anak bangsa. Ini puing rasa sakit dan merana, karena merasa tidak dianggap dan dihargai keberadaannya.”
Begitulah, jika para anak bangsa besar ini mulai marah. Apa saja dapat jadi sasaran paling empuk untuk dihajar. Kini yang tersisa hanya duka dan derai air mata kesal dan sesal. Ya, sungguh, sesal kemudian itu memang selalu tidak berguna. Namun apa lacur, semuanya itu telah terlanjur.
“Mulutmu Harimaumu alias Jamu”
Semuanya itu bermula dari mulut lancang, hati dengki, dan jiwa kerdil. Itulah kekhasan orang-orang bodoh dan tolol, karena sesalnya selalu berada di ujung sadar. Inilah ciri khas dari sebuah bangsa yang serba serta selalu terlambat.
Ya, semuanya telah terlambat. Kita baru menyadarinya tatkala mendengar rintihan paling pedih dari balik puing-puing berserakan di kota-kota hitam itu.
Inilah suara jeritan Ibunda Pertiwi, kala ia menyaksikan semua sepak terjang kita.
“Sungguh, jangalah engkau sekali-kali menari di atas bangkai sesamamu!”
Ya, karena keangkuhanmu itu akan melahirkan duka derita!
Kediri, 3 September 2025