Oleh: Fr. M. Christoforus, BHK
“Anggota DPR hanyalah ‘produk’ dari sistem yang bobrok; dari mekanisme pencalonan, proses pemilu, hingga budaya politik uang.”
Husni Magz
(Kompas, 26/8/2025)
Kemelut Bangsa akibat Salah Ucap
“DPR Berbenahlah,” demikian judul Surat Pembaca dalam harian Kompas, Selasa, (2/9/2025), oleh A Agoes Soediamhadi, Langenarjan, Yogyakarta.
Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa betapa carut-marutnya situasi serta kondisi riil dalam tubuh bangsa ini, justru setelah sejumlah anggota DPR menyampaikan statemen ngawur yang tidak beretika dengan menyebut kata “tolol” kepada rakyat yang menyerukan agar DPR dibubarkan saja.
Dari kata yang sungguh tidak beretika inilah yang akhirnya dapat menyulut api kemarahan besar dari rakyat bangsa ini dengan cara berdemo dan membakar serta bahkan menjarah aneka sarana dari dalam gedung DPR dan kantor polisi.
DPR kita memang telah menyejarah lewat aneka peristiwa, antara lain, ‘pembubaran DPR oleh Soekarno pada 4 Juni 1960 akibat menolak RAPBN yang diajukan Pemerintah.
Dekrit Pembubaran DPR oleh Presiden Gus Dur yang walaupun kemudian gagal, pada 23 Juli 2001. Selain itu, Gus Dur pun pernah berkata, bahwa kondisi anggota “DPR ngga beda jauh sama anak TK (Taman Kanak-kanak).
Sebetulnya ada apa dengan para wakil rakyat ini? Malah di bulan Agustus 2025 justru rakyat sendiri yang meminta, agar para wakil mereka dibubarkan saja. Sekali lagi, ada apa dengan para wakil rakyat ini?
Analisis Kritis dari Husni Magz
Penegasan dari Husni Magz lewat Kompas, (26/8/2025), justru kian membuka tabir misteri di balik rendahnya etika dan kualitas para wakil rakyat ini. Beliau justru mempertanyakan, kualitas produk anggota DPR, jika kita tetap mempertahankan sistem yang bobrok dalam mekanisme pencalonan, proses pemilu, serta budaya politik uang.
Semoga analisis kritis ini, mampu ditanggapi serius dan bersedia untuk mengubah sistem yang serta mekanisme pencalonan yang dianggap bobrok ini.
Hal baik yang justru hilang dalam budaya kita, ialah “sikap sensitivitas serta budaya malu,” seperti yang diusulkan Syamsuddin Haris (Kompas, 28/8/2025).
Jamu alias “Jaga Mulut”
“Mulutmu Harimaumu,” adalah sebuah frase idiomatikal yang mendeskripsikan, bahwa mulut manusia, jika salah digunakan (ucap), justru dapat melahirkan malapetaka di bumi ini. Untuk tujuan mulia itu, maka kepada kita, sungguh diharapkan, agar ‘pandai-pandai menjaga mulut.’
Seperti “lidah manusia, yang walaupun hanyalah sebuah organ tubuh yang sangat kecil, namun ia dapat memorakporandakan suatu keadaan nyaman.”
Sadarilah juga, bukankah ekor dari sebuah keseleo lidah, justru telah berdampak dan berujungkan sebuah malapetaka?
Camkam, bukankah hanya dari sepotong “lidah mungil itu justru dapat jadi sarana penghancur kehidupan?”
Untuk tujuan yang seluhur itu, maka sekali lagi, “tolong, jaga mulutmu!”
Kediri, 4 September 2025