| Red-Joss.com | Lelaki itu diam termangu. Jiwanya terguncang. Harga dirinya luluh lantak. Penyesalan itu bagai air bah yang datang bergulung-gulung dan menyeretnya ke lorong gelap tak berujung.
Bagaimana tidak. Permintaan terakhir istrinya itu membuat hatinya terpukul berat ke dalam penyesalan yang tidak termaafkan!
“Jika aku boleh meminta, rawatlah anakku ini seperti anakmu sendiri.”
Seketika dada lelaki itu menyesak, dan membuatnya sulit bernafas.
Ternyata selama ini ia telah abai dan menelantarkan istri dan anak-anaknya. Karena ia mengejar ekspektasi kosong.
Ia mempunyai istri juga tidak lebih sekadar status. Ia berkeluarga agar dianggap mempunyai keluarga.
Faktanya selama ini ia tidak mau diikat, karena ingin bebas.
Sejak awal, ketika diajak menikah oleh calon istri, ia berkomitmen tidak mau diikat, meskipun tinggal serumah.
Terbayang jelas dalam ingatannya, ketika Ibu pergi meninggalkan Ayah dan dirinya. Sehingga Ayah menjadi orangtua tunggal untuk membesarkannya sendiri.
Pengalaman pahit itu membuat ia berjanji, jika kelak mempunyai istri, ia juga tidak mau diikat, karena tak mau terluka.
Ia juga tidak peduli, ketika dianggap sebagai petualang cinta. Toh, sejak awal, ketika menjalin hubungan, ia telah berterus terang. Jika harus menikah pun tanpa ikatan. Karena ia tidak mau menyesal belakangan.
Kini, di ujung penderitaan istrinya yang sekarat, karena digerogoti kanker, istri mempunyai permintaan terakhir yang membuat hatinya terguncang hebat. Ia tidak mampu mengeraskan hati untuk kendalikan diri dan menjadi tegar.
Tanpa sadar matanya beradu pandang dengan gadis cilik, anak tirinya yang bungsu. Tatap mata polos tanpa dosa yang memohon padanya!
Seketika itu hatinya luluh dan sakit. Persendiannya seperti dilolosi. Ia menjadi rindu pulang, setelah sekian lama berkembara. Ia merasa lelah, dan lelah sekali.
Digenggamnya tangan istrinya yang tergolek lemah tanpa daya. Penyesalan itu kembali datang bergulung. Karena selama ini ia telah menyia-nyiakan istrinya yang sabar demi muasi ego dan dendam pada Ibu yang tega meninggalkan Ayahnya.
Permintaan terakhir istrinya itu membuat dadanya menyesak. Ia mengangguk lemah.
“Jangan tinggalkan aku,” pintanya lirih. Istrinya tersenyum manis, dan menggenggam erat tangannya.
Tiba-tiba anak gadis bungsunya menjerit sambil memanggil-manggil Ibunya.
Jiwanya seakan melayang, tapi ia gagal menggapai istrinya untuk diajak kembali.
Hatinya sakit. Kesadaran datang terlambat. Ia akan mencoba belajar untuk menjadi Ayah yang baik bagi anak-anaknya.
“Semoga Allah senantiasa sertai dan bimbing kami,” doanya lirih, bahkan nyaris tidak terdengar.
…
Mas Redjo

