Lelaki itu melewati malam tanpa bermimpi. Ia tidak mau terlelap ditenggelamkan dalam kenyamanan tidur. Ia sadar, bermimpi pada malam hari itu hanya memberi realita yang menyakitkan, ketika terbangun di pagi hari. Mimpi itu terbang dan hilang. Lebih baik ia menyusuri siang yang sudah pasti.
Karena tidak mau bermimpi lagi di malam hari, ia lalu mengubah kebiasaan tidurnya. Ia tidur di siang hari. Ia tidak mau diganggu oleh mimpi-mimpi yang menakutkan, bahkan menyakitkan. Tapi ternyata, tidur di siang hari, walau hanya beberapa saat, ia sering diburu mimpi yang menyakitkan. Ia jadi takut untuk tidur dan bermimpi. Ia jengkel, lalu memotong syaraf mimpinya supaya tidak bermimpi lagi!
Ternyata kebiasaan tidur dan syaraf mimpi yang telah dipotong itu mempunyai efek yang membuat ia makin sulit tidur, baik malam atau siang hari. Untungnya ia pernah belajar yoga. Untuk mengatasi lelah dan kurang tidur itu ia bermeditasi. Ternyata bermeditasi tidak selamanya mampu mengatasi rasa lelah yang menusuk-nusuk dan membuatnya mengantuk. Seperti yang ia rasakan di siang yang terik itu. Udara yang kering berdebu dan semilir angin di bawah rindangnya pepohonan, membuatnya terkantuk-kantuk.
“Jangan tidur! Tidur siang itu kemewahan dan kerjanya orang malas!” hati kecilnya mengingatkan. Ia terperangah, lalu menampar pipinya supaya tersadar. Ia lalu mencuci wajahnya supaya tidak mengantuk. Karena selalu berjaga-jaga untuk tidak tertidur, ia mendekatkan pada Ilahi untuk membaca sasmita-Nya.
“Kalau mengantuk, tidurlah Nak, karena tidur itu kebutuhan. Kenapa mesti ditakuti?” tiba-tiba suara lembut menyusup ke telinganya, membuatnya terhenyak, sambil ia mencari arah dari datangnya suara. Tidak ada seorang pun! Lalu?
“Saya antipati dengan mimpi,” gumamnya. “Begitu malam berganti pagi, mimpi itu sering kali menyakitkan. Lebih baik saya menyusuri hidup di siang hari, karena itu realita; fakta sebenarnya yang tidak bisa dibungkus malam.”
“Begitu?!”
“Ya!” tegasnya. Ia merinding, karena tidak menemukan sumber suara. Lalu, ia bicara dengan siapa?!
“Kau keliru, Nak,” terdengar suara lembut. Jelas, suara laki-laki. “Mimpi itu bagian dari hidup manusia. Sekalipun kau sudah memutuskan syaraf mimpimu. Tidak bisa kau mengikarinya. Mimpi itu bisa berarti lintasan waktu bawah sadar. Bisa juga mimpi lain, yang dipunyai setiap insan, apakah mimpinya kuat atau tidak. Mimpi tanpa aksi, itu sekadar angan-angan. Itu yang dipunyai orang malas.”
Lelaki itu kembali terdiam. Suara itu mampu menyihirnya dan mengetahui rahasianya yang telah memotong syaraf mimpinya! Mungkinkah ini suara Ilahi? Hatinya merasa kecut dan nyalinya susut.
“Siapakah Bapa …?”
“Saya adalah nuranimu. Yang selalu mengingatkanmu.”
“Ketika terpuruk kemarin, kenapa saya tidak diingatkan…,” protesnya lirih.
“Kau tengah berduka dan menutup diri. Emosimu lebih dominan. Kalau kau tidak berani menerima hal yang terpahit dalam hidup ini, mungkinkah kau mengecap hal yang termanis?!”
“Berat ringannya suatu permasalahan itu berawal dari pikiranmu sendiri. Hanya kejernihan hati yang mampu melihat persoalan dengan jelas. Kalau yang kau tanggung terlalu berat, bersandarlah pada Allah supaya menjadi ringan.”
Lelaki itu terdiam.
“Hidup itu harus dipenuhi mimpi supaya bervariasi. Sirami dengan rasa syukurmu supaya mimpimu bersemi. Gelorakan harapanmu supaya terus bermekar yang membuat seseorang selalu optimistis, percaya diri, rendah hati dan mampu merealisasi mimpi-mimpi…”
Untuk kesekian kali, lelaki itu terbungkam tapi ia tidak menyanggah.
“Kalau mimpi tidak tercapai …?” lelaki itu meragu.
“Apakah perjuanganmu sudah berakhir? Apa sebab dari semua kegagalan itu? Seorang yang fokus dengan mimpi, hendaknya diimbangi dengan kerja keras, pantang menyerah dan diiringi doa untuk berpasrah pada kehendak Ilahi.”
“Jika Tuhan tidak mengabulkan?!” sergahnya memprotes.
Terdengar tawa lembut menenangkan.
“Allah Maha Mengetahui, Nak. Selalu memberi yang terbaik. Seorang Bapak selalu memberi yang jadi kebutuhan anaknya, apalagi Tuhan …!”
“Doa saya tidak dikabulkan …,” suaranya terdengar kecewa.
Terdengar suara tawa renyah lagi.
“Itulah masalahnya. Banyak orang menuntut supaya doanya dikabulkan, bahkan ada yang mengancam atau bahkan ngambek tidak mau berdoa lagi. Kenapa doa tidak dikabulkan? Banyak alasan, mungkin belum waktu-Nya, kalau dikabulkan membuat orang jadi sombong atau lupa diri. Tuhan selalu memahami kebutuhan umat-Nya; memberi tanpa diminta. Kenyataannya, banyak orang sering berhitung dagang dengana-Nya; menghitung untung-rugi. Padahal matematika Tuhan itu sungguh ajaib … Melampaui logika.”
“Kalau doa belum dikabulkan, ya, daraskan doamu dengan berserah secara total, tulus, dan ikhlas. Percayalah menurut yang kau percaya, karena bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Percayalah, Tuhan selalu memberi yang terbaik….”
Lelaki itu tertunduk malu, sedih, terhibur, dan berbagai perasaaan mengaduk-aduk benaknya. Ya, ia harus bisa berserah diri dengan tulus, ikhlas, dan tanpa pamrih. ‘Manunggaling Kawulo Gusti, Sumonggo Gusti’.
Dihelanya nafas panjang. Ia ingin menemukan mimpinya kembali.
“Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu.”
Mas Redjo

