Oleh: Mas Redjo
| Red-Joss.com | Sepulang kerja sore itu, istriku, IN mengamatiku dengan heran, kaget, dan penasaran. Karena tidak biasa saya mengenakan jas.
“Tambah ganteng, ya, Bu,” canda saya sambil terseyum.
“Tumben. Ada apa ni?”
“Mulai besok, jika ngantor saya mau mengenakan jas merah ini untuk ingatkan diri sendiri agar saya tidak melupakan sejarah.”
“Maksud Bapak?”
“Untuk mawas diri. Ingat semangat juang dalam membangun usaha ini. Kita jatuh bangun ditipu orang dan pengalaman pahit lainnya agar kita tidak berpura-pura lupa atau melupakannya. Khususnya juga anak-anak kita agar miliki semangat juang untuk belajar dan bertanggung jawab meneruskan serta mengembangkan usaha keluarga ini. Mereka tidak dicekoki budaya serba kemudahan dan instan yang membuat mereka jadi kebablasan dan malas.”
“Jas merah seperti yang diingatkan oleh pendiri bangsa ini,” tambah IN.
Saya mengiyakan. Tapi hati ini pedih, karena membuka luka lama.
Bagaimana tidak kecewa, terluka, dan sedih. Karena tidak merasa ikut terlibat dan berjuang, banyak orang hanya melihat hasil. Tidak merasa memiliki negeri ini. Demi kekuasaan mereka melupakan sejarah. Demi muasi ambisi mereka berbuat keji, sehingga kehilangan hati nurani.
Jas merah itu untuk dipakai sehari-hari sebagai pengingat diri agar kita jangan pernah melupakan sejarah kelam, dan mengulanginya. Jangan korbankan banyak orang demi ambisi dan kekuasaan. Trauma pedih dan nyeri itu teramat mahal, dan sekaligus aib bagi Ibu Pertiwi.
Jas merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah perjuangan hidup ini.
Sesungguhnya hidup ini berhikmat. Ketika kita berguna bagi sesama.
Apa sumbangsih kita bagi Ibu Pertiwi?
…